(n.)Penuh perhitungan, terukur
| /ˈɡambət/ | gem bit |
Etimologi :
Berasal dari bahasa Spanyol, gambito, yang berasal dari bahasa Itali, gambetto, dari gamba (“kaki”) + etto, artinya membuat orang tersandung dengan kaki.
Tidak ada hubungan arti antara gambit dan gamble (“judi”,”bertaruh”). Gambit pertama kali digunakan sekitar abad 17, pada sebuah buku catur, yang berisi tentang gambetts, atau strategi mengalahkan atau menipu lawan
Awalnya gambit digunakan dalam permainan catur, tapi akhir-akhir ini banyak digunakan untuk mengungkapkan cara, strategi, tindakan, baik secara literal atau sekedar retorika.
Esai :
Malam itu, Drupadi berkumpul bersama suami dan para pembesar Amarta. Empat saudara ipar, Drestajumena, Srikandi dan Kresna hadir juga di situ.
‘Apakah tujuan semua ini , Jenardana kakangku’, kata Drupadi kepada Kresna.
‘Tetuko, Irawan, Abimanyu, semua putera-puteraku, anak-anak kita yang perkasa telah gugur. Kemenangan ada di pihak Amarta, tapi apakah artinya ini semua, Jenardana ?’, sambung Drupadi.
Jenardana, atau Kresna hanya terdiam dalam pikirannya, bahkan kebijaksanaan Wisnu yang menitis melalui ubun-ubunnya pun, tidak mampu seketika menjawab pertanyaan Drupadi.
Kresna menarik nafas panjang, menenangkan dirinya sesaat, tangannya gemetar mendengar perkataan Drupadi.
‘Perang ini adalah jalan untuk memenuhi karma, wahai Panjali. Seperti Dewabrata putera Dewi Gangga menjalani karma memenuhi kutukan Dewi Amba, Kumbayana kepada Palgunadi, Sumantri kepada Sukrasana, dan apakah kau masih ingin aku sebutkan satu persatu, Drupadi puteri Pancala’, Kresna mulai bicara dengan suara yang tenang.
‘Bagaimana kita menghindari karma, Panjali ? Tidak ada yang bisa. Perang ini pun adalah sebuah karma, untuk memenuhi peran yang sudah di tentukan, peran untuk menjaga keseimbangan, peran untuk membersihkan dunia.’
Kepala Drupadi tetap tegak, hatinya tidak gentar sedikitpun, walau ia tahu, yang berbicara ini adalah Wisnu, Dewa yang dijunjungnya.
‘Hidup ini bukan tentang baik dan buruk, dengarlah Panjali. Tapi adalah bagaimana kita bersikap kepada kebaikan dan keburukan. Demikian juga dengan perang Barata.’
‘Aku bertanya kepadamu, Panjali. Siapakah yang lebih jahat, Dursasana yang menelanjangimu, atau Sena yang memeras darahnya untukmu berkeramas ? Atau bahkan kau yang meminta berkeramas darah Dursasana, lebih buruk dari mereka berdua, Panjali. Aku bertanya kepadamu Panjali, untuk apakah anak-anakmu, putera-putera Pandawa, bergelar Kesatria ?’
Drupadi bergetar mendengar suara Kresna, mungkin seandainya dia bukan Yadnyaseni, tentu saja raganya akan musnah oleh Wisnu.
‘Aku Drupadi, puteri Pancala, yang lahir dari api persembahan kepadamu, wahai Wisnu Narayana, sembahanku. Aku Drupadi, seorang istri, menghendaki darah Dursasana, untuk pelajaran kepada penghinaan yang aku terima. Aku Drupadi, seorang perempuan, yang selalu menjadi korban kekerasan. Aku Drupadi, seorang ibu, yang menderita ketika melihat anak-anakku mati mendahului aku. Dan aku Drupadi seorang ratu Amarta, yang selalu menangis ketika prajurit-prajuritku dikorbankan, hai Jenardana, apakah yang lebih sakit dari semua itu ?’
Suara lantang Drupadi seketika mengheningkan kesunyian ruangan pertemuan itu. Suara puteri Pancala itu membuat nafas Puntadewa tersengal, membuat Bimasena tertunduk, membuat Arjuna terdiam, dan membuat Nakula Sadewa meneteskan air mata.
‘Apakah yang kau takutkan, duh Pancali. Engkau sudah memberikan pelajaran menghidupkan diri dengan dendam, sama seperti dendam Amba kepada Bisma Dewabrata, dendam Palgunadi kepada Kumbayana, atau seperti dendam Gandari kepada kebutaan. Biarlah perang ini menjadi pelajaran bahwa dendam adalah mengerikan’
Drupadi berjalan mendekat Kresna, Puntadewa ingin mencegah, tapi bahkan ia tidak mampu barang menggerakan tangannya
‘Kresna titisan Wisnu, sang Jenardana, penyelamat manusia, dengarlah. Engkau yang kuasa mengatur segalanya. Kau korbankan Tetuko putra Arimbi, agar Arjuna mampu menandingi Suryaputra Basukarna. Engkau meminta Srikandi menghadapi Dewaputra yang tidak tertandingi meskipun oleh Bimasena, karena kau tahu, ia tidak akan melawan titisan Dewi Amba. Engkau membuat suamiku berdusta, karena kau sendiri tidak akan sanggup menghadapi Aswatama.’
‘Salindri’, suara Puntadewa bergetar memanggil Drupadi istrinya, menghentikan kata-kata Drupadi.
Kresna kembali berkata, kali ini suaranya sangat halus, berbeda dengan beberapa saat lalu, sebelum Drupadi mendekat.
‘Pancali, seperti dalam Caturangga, anak-anakmu, prajurit-prajuritmu, mereka adalah ksatria yang setiap jiwanya berperan untuk memenuhi dharma membersihkan dunia. Mereka adalah bagian dari Caturangga, hitam atau putih, baik atau buruk, semua sama. Semua perjalan mereka telah dituliskan, diperhitungkan. Tidak ada hitam atau putih, kebaikan atau kebenaran, yang ada adalah bagaimana menyikapi permainan untuk menang atau kalah.’
‘Kresna oh Kresna, itukah kau melihat nyawa dan jiwa ? Itukah arti namamu Jenardana ? Itukah caramu melihat kejadian ini, hanya sebagai papan caturangga, kau jadikan kami keluarga besar Amarta ini buah catur yang kau mainkan, kau korbankan untuk tujuan kemenanganmu saja.’, Suara Drupadi meninggi.
Puntadewa berdiri mendekati istrinya.
‘Jlitheng kakangku, Salindri istriku, sudah akhiri pembicaraan ini’
Drupadi menunduk, tangannya mencari tangan suaminya, lalu di genggamnya erat. Puntadewa membimbingnya kembali ke tempat duduknya semula.