(n.)Aroma khas yang tercium ketika hujan membasahi tanah kering.
| petrikor | /ˈpɛtrɪkɔːr/
Etimologi :
Yunani petros, “batu” + ikhor, “cairan yang mengalir di pembuluh darah para dewa-dewa Yunani”
Pertamakali muncul sekitar tahun 1964, pada paper ilmiah di jurnal Nature
Esai :
Siang itu, udara terasa panas, di langit awan putih, tidak ada yang bisa sekedar meredam panasnya udara. Kulitku rasanya semakin basah, bajuku semakin lama semakin lengket karena keringat.
Suara mesin truk pengangkut pasir, meraung melawan tanjakan, terdengar seperti protes kepada keadaan. Mesin sepeda motor, terdengar tidak mau kalah, suaranya berdengung sibuk, seperti demonstrasi buruh yang berteriak-teriak menuntut hak mereka yang tidak pernah terpenuhi.
Aku mengamati kesibukan-kesibukan dari pinggir jalan, di sebuah warung, sekedar es teh di siang hari, bolehlah. Untuk beli makan siang, aku belum mampu. Uangku hanya cukup untuk makan malam nanti. Teh manis ini cukup untuk menambah tenaga sampai nanti.
Aku laki-laki, harapan keluargaku, ibu dan adikku bergantung sepenuhnya kepadaku. Mereka tidak menuntut banyak, bukan menuntut malah, tapi sekedar berharap aku membawa pulang makanan untuk mengisi perut mereka yang mungkin sudah sejak semalam hanya terisi air.
Sedangkan aku sendiri, tidak tahu harus berharap kepada siapa. Hanya payung ini yang aku punya. Oh iya, aku tahu berharap kepada siapa. Aku berharap kepada hujan agar turun, dan berharap ada orang yang bersedia meminjam payungku agar baju mereka tidak basah. Kesulitan orang lain, memang menjadi harapan untuk orang lain.
Aku terbangun dari lamunanku, hidungku mencium harapan. Bukan bau tajam asap hitam bis, bukan bau harum masakan ibu warung yang tak terbeli olehku. Tapi aku mengenal aroma ini, aroma khas yang lebih harum dari masakan ibu warung. Ini pertanda aku harus segera bekerja. Aroma hujan yang baru saja turun, aroma tanah kering yang terkena gerimis. Aroma harapan ibu dan adikku.