(n.)Seseorang atau sesuatu yang selalu dipikirkan setiap saat, yang menginspirasi, harapan
| won·der·wall |
Etimologi :
Inggris wonder, (“admiration”,”kekaguman”) – wall (“dinding”),
Secara langsung adalah pembatas sesuatu yang mengagumkan.
Wonderwall adalah metafora sebuah dinding yang berada di antara imajinasi dan realita.
Wonderwall digunakan untuk mengungkapkan kekaguman, kecintaan terhadap seseorang yang mengagumkan, memberikan inspirasi, semangat
Digunakan pertama kali tahun 1968 sebagai judul filem, dan lagu soundtracknya berjudul “Wonderwall Music” yang di tulis oleh George Harisson.
Bercerita tentang seorang ilmuwan yang tergila-gila pada seorang wanita yang diintipnya pada sebuah lubang di dinding.
Terkenal melalui lagu dari Oasis, tentang seseorang teman imajiner yang akan datang
Esai :
Sudah kira-kira empat bulan terakhir, Elin melewati jalan di kota tua ini. Pekerjaannya sebagai kurator di museum, membawanya untuk selalu melewati jalan kecil ini, jalan terdekat menuju ke tempatnya bekerja.
Ia selalu melewati sebuah rumah tua dengan jendela kembar besar dengan rangka kayu tanpa kaca, hanya kayu yang di susun untuk aliran udara . Dinding kusam disekitar jendela itu sudah mulai rapuh terkelupas, dimakan usia, beberapa bagian batu batanya sudah terlihat, tertata rapi, khas bangunan ala kolonial.
Ruangan di balik jendela itu terlihat rapi dan bersih, empat kursi tamu dari kayu mengelilingi sebuah meja bundar kecil, yang terbuat dari kayu tua pula. Selama lewat di depan rumah ini, Elin tidak pernah sekalipun melihat ada seseorang di balik jendela itu.
Pintu utamanya selalu tertutup, tapi jendela itu selalu terbuka ketika pagi ia berangkat bekerja, dan tertutup ketika sore. Mungkin penghuninya adalah sepasang kakek nenek, pikir Elin.
Sering Elin berhenti tepat di depan jendela rumah itu, hanya untuk sekedar melihat kedalam ruangan kosong. Ruang yang bersih, tertata rapi, tanpa banyak barang di dalamnya. Sejauh ini ia hanya menemukan meja dan kursi saja, tanpa ada perabotan lain. Tidak ada foto, figura, atau ornamen-ornamen lain yang menempel di dindingnya.
Ruang di balik jendela rumah ini seperti mesin waktu yang membawanya kembali ke sebuah kota di ujung timur Jawa. Membawanya kembali ke rumah orang tuanya, yang sama keadaannya kira-kira.
Ruang kosong itu mengingatkannya pada rumah tempat ia di besarkan, rumah tempat ibunya selalu membelai kepalanya sambil melantunkan tembang-tembang Jawa, mendongengkan cerita-cerita rakyat Jawa.
Meja kayu itu, seperti meja di rumahnya, tempat ia menyimpan buku-buku bacaan yang selalu terserak dan di susun kembali tanpa lelah oleh ibunya.
Terbayang, ayahnya yang sudah renta, duduk diam melamun, di kursi kayu itu, memegang rokoknya, memikirkan beban hidup yang ditanggung sendiri, tidak akan dibagi kepada anak dan istrinya.