(n.)Seseorang yang melakukan perjalanan, biasanya dengan berjalan kaki
| way·far·er | ˈwā-ˌfer-ər |
Etimologi :
Inggris pertengahan : weyfarere, wey (way) + farere (traveler), faren (to go)
Pertama kali tercatat digunakan sekitar tahun 1400 – 1450. Arti kata lainnya adalah musafir, pelancong, peziarah, penjelajah
Esai :
Setelah gapura selamat datang, jalan sepi menanjak terlihat menunggu. Di ujung sana, jalan tanah itu seperti menghilang, masuk ke dalam tumbuhan semak-semak. Anto menarik nafas panjang, sudah puluhan kali melewati jalan ini, tapi detak jantungnya tetap saja kencang.
Ia duduk sejenak di bawah gapura, sekedar mengencangkan tali-tali kompresi ransel yang longgar, dan memeriksa beberapa bagian, cukup untuk menenangkan detak jantungnya.
Detak jantung kegembiraan setiap kali melewati jalur setapak yang merupakan jalur pendakian terpanjang di pulau Jawa.
Anto berdiri, ranselnya naik ke punggungnya, dan berjalan sambil sesekali menyesuaikan strap, agar tidak banyak bergerak. Beban yang digendongnya adalah beban yang akan membuatnya bertahan hidup tujuh hari kedepan.
Persediaan air, makanan kering, kompor, tenda, sleeping bag, dan beberapa potong baju tersimpan sesak, memenuhi ruang sempit 65 liter.
Kakinya melangkah, sepatu hikingnya ringan bergantian menginjak batu-batu tajam di tanah. Anto terbiasa berjalan sendirian, melewati waktu, dan jalur-jalur pendakian. Temannya hanya penduduk lokal yang di temuinya sepanjang perjalanan.
Sore ini, ia mengejar waktu untuk sampai ke sebuah pemukiman kecil. Dukuh Pakel, sebuah dukuh kecil, sangat kecil untuk disebut dukuh sebenarnya. Merupakan pemukiman terakhir di kaki gunung. Awalnya dukuh ini hanya terdapat beberapa bedeng, yang merupakan tempat istirahat bagi pekerja afdeling kebun teh, karena lokasinya yang terlalu jauh dari desa, mereka lambat laun bermukim di dukuh ini.
Setelah melalui hutan kayu yang rapat, menjelang gelap, Anto sampai di kebun teh. Ia berjalan terus dengan langkah mantab menuju ke arah dukuh. Penduduk lokal yang di temuinya di jalan, melihatnya dengan mata heran dan curiga. Beberapa di antaranya tidak melepaskan mata dari Anto yang menuju ke sebuah warung kecil.
“Ada kopi pak ?”, Anto menyapa bapak-bapak penjaga warung. Wajah tuanya tidak bisa menutupi rasa curiga kepada seseorang asing yang tiba-tiba muncul dari balik hutan.
Ransel di punggungnya, kini sudah berada di atas tanah, Anto mengambil tempat duduk yang paling dekat dengan sepiring gorengan.
“Kesasar dik ?”, bapak penjaga warung menyerahkan segelas kopi hitam.
“Tidak banyak pendaki lewat jalur ini, biasanya kesasar.”, sambungnya sambil tetap berdiri menjaga jarak.
“Mungkin saya salah satunya pak”, Anto tersenyum sambil menyeruput kopi hangatnya.