(n.)Keluar dari rutinitas sehari-hari
| thatza-zoku |
Etimologi :
Jepang 脱 (datsu) artinya “keluar”, “bebas”, “berhenti” + 俗 (zoku) artinya “biasa”,”kebiasaan”,”bosan”
Berhenti atau keluar dari kebiasaan, rutinitias sehari-hari dengan tujuan untuk mendapatkan pencerahan.
Bisa juga istirahat dari rutinitas sehari-hari, atau berhenti dari hal-hal yang biasa.
Esai :
Setiap hari sebelum matahari terbit, aku sudah berada di stasiun. Sama seperti orang-orang lain yang mungkin datang lebih dulu, entah, yang jelas stasiun ini sudah penuh dengan manusia. Perhitunganku, mungkin aku akan dapat kereta ke tiga atau ke empat.
Aku datang jam 5 tepat, berjalan melewati beberapa antrian, dan mengambil antrian di pintu ke tiga dari ujung. Bukan apa-apa, karena di tengah adalah antrian paling panjang, dan di pinggir adalah antrian paling pendek. Distribusi kurva normal, kata mbak Santi, salah seorang atasanku di kantor. Aku mendengarnya ketika berdiskusi dengan beberapa atasanku lainnya.
Hari ini, sama dengan kemarin, sama dengan sebelum kemarin, 6 hari seminggu, 4 minggu sebulan, 12 bulan dalam setahun. Sudah menjadi rutin buatku.
Bagiku, waktuku terlihat sama setiap hari, sesuai jadwal, teratur, terasa aman, tapi semua kosong, seperti robot yang tanpa jiwa. Aku hanya mengikuti waktu saja.
Pekerjaanku, ada di dasar piramida profesi, kalau ada, membuat aku menjalani rutinitas ini. Berangkat sebelum terang, dan pulang setelah gelap. Sebagai office boy, bahasa inggrisnya pekerjaanku, atau pesuruh, lebih tepatnya, dan jongos untuk kasarnya.
Di tempatku bekerja, ada sebuah ruangan, dindingnya dari kaca tembus pandang, di dalamnya ada beberapa meja, dan beberapa rak besar berisi banyak buku yang tersusun rapi. Ruangan itu sering terlihat sepi, kadang hanya ada satu atau dua orang saja yang berada di ruang itu, tapi lebih banyak kosong, tanpa ada yang masuk.
Ruangan itu adalah perpustakaan kantor, ruangan paling sepi di gedung ini, justru ruangan yang paling menarik buatku. Tapi aku sama sekali tidak berani masuk, sering hanya berdiri saja di depan kaca, mengagumi deretan buku-buku yang tersusun rapi. Mungkin hampir setiap hari ketika mengelap kaca ruangan ini, aku berdiri seperti terpaku, tanpa berani masuk.
“Masuk saja, kenapa cuma berdiri di situ?”, suara itu mengejutkan aku. Seorang laki-laki mengejutkan aku. Di belakangnya berdiri beberapa tiga orang dengan pakaian rapi, aku mengenali mereka, adalah atasan-atasanku yang lain di kantor ini. Tapi laki-laki berumur ini, aku sama sekali tidak mengenalinya, tampaknya ketiga atasanku itu, sangat hormat dan takut kepadanya.
Keringat dingin membasahi dahiku, leherku terasa panas seketika, ketika laki-laki itu menanyakan di bagian mana aku bekerja.
“Saya OB di sini pak”, aku menunduk dalam, jangankan bersalaman, menatap matanya saja aku tidak berani.
“Ayo masuk, aku temani”, laki-laki itu merangkulku yang masih tertunduk.
“Ini adalah perpustakaan kantor ini, semua orang boleh masuk” katanya, sementara aku hanya mengangguk tanpa bersuara.
“Apa bacaanmu ?”, sambungnya, ia mengajak aku masuk ke salah satu lorong di antara rak buku.
“Pramoedya, Goenawan Mohamad, Emha, Tohari, ada di sini semua”, ia memandangi deretan buku-buku itu.
“Saya suka Pram, dan Ahmad Tohari pak”, jawabku lirih.
“Bagus..”, ia mengajakku berjalan ke lorong sebelah.
“Hmm kalau ini buku-buku barat rupanya, kamu suka juga ?”, ia bertanya, dan aku mengangguk perlahan.
“Saya pernah baca twain, hemingway, kafka, goethe terlalu rumit buat saya”, aku sudah berani berbicara sambil menatap matanya.
“Goethe ? Kannst du Deutsch sprechen und lesen?”, tanyanya
“Ja, ich kann, aber nicht viel.”, aku membalasnya sekali lagi dengan menunduk.
Laki-laki tua itu tertawa terbahak-bahak, aku sama sekali tidak tahu apa maksudnya.
“Dari bagian apa kamu tadi ? OB ?”, suaranya terdengar serius, aku hanya mengangguk menjawab.
“Puluhan sarjana disini, kayanya cuma kamu yang tahu buku”, mata dan senyumnya melebar
“Saya cuma SMA pak”, sopan aku menjawab
“Iya tapi pengetahuanmu mungkin lebih dari sarjana-sarjana itu”, ia menepuk pundakku.
“Mulai hari ini, biarkan anak masuk perpustakaan ya, saya yang beri ijin langsung”, nada bicaranya berubah tegas, berbicara kepada tiga orang atasanku itu.
“Nah, kamu boleh masuk ruangan ini kapan saja gak usah takut, nanti kapan-kapan kita ketemu lagi ya, saya punya buku-buku bagus, ruang saya di atas, kalau ada waktu datang ya”, tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya menjabat tanganku, genggamannya kuat dan tegas, badanku gemetar menerima uluran tangannya.
Lantai atas ? bukannya hanya ada satu ruang di situ ? ruangan direktur ?
Hari itu benar merubah rutinitasku di kantor ini. Di saat aku sudah selesai dengan pekerjaanku melayani atasan-atasanku, yang biasanya hanya menunggu di pantry, sekarang aku menunggu di perpustakaan.
Membaca beberapa buku-buku di situ, buku-buku impianku yang tidak mungkin terbeli oleh gaji UMK. Selama ini selain di perpustakaan umum, aku hanya bisa membaca buku dengan cara mencuri-curi baca di toko buku.
Suatu hari, aku menemukan sebuah buku tua yang menarik perhatianku, sampulnya hitam, dengan gambar beberapa roket berwarna warni, judulnya “Gravity’s Rainbow”.
Yang menarik, di dalamnya aku menemukan sebuah pesan tertulis di kertas yang terselip di halaman tengah.
“Siapapun yang baca buku ini, hubungi saya – Jo”
Di situ ada pula nomer telepon rumah di sertakan 021220xxx, pesan ini sepertinya di buat bertahun-tahun yang lalu, mungkin lebih dari 20 tahun lalu. Dan lagi siapa yang masih pakai telpon rumah sekarang ini, mungkin hanya kantor dan rumah-rumah orang kaya lama saja yang masih pakai.
Kembali ke buku tadi, ya buku ini sangat sulit aku baca, cara menulisnya sangat tidak umum, kepalaku berputar-putar rasanya mengikuti alurnya. Tapi aku tetap membacanya hingga selesai. Dan memikirkan apa yang ada di pikiran penulisnya.
Iseng aku mencoba menelpon nomer telpon di catatan itu. Dan ada yang menjawab.
“Halo, ini Jo, tinggalkan nomor, saya akan segera menghubungi anda kembali”, suara mesin penjawab rupanya. Tapi benar nama di catatan itu sama dengan nama di mesin penjawab.
Sempat ragu sebentar, walaupun aku tetap membacakan nomer hpku, pikirku toh aku tidak kehilangan apa-apa. Lagi pula, siapa yang mau menipu orang miskin seperti aku ini.