Meraki

(adj.)Berbuat sesuatu dengan sungguh-sungguh, mencurahkan jiwa kedalam perbuatan

| may-rah-kee |

Etimologi :

Turki merak (“rasa ingin tahu yang besar”,”keinginan atau kerinduan yang besar”,)

Yunani μεράκι, meraki (“ingin tahu yang besar”,”bersungguh-sungguh”,”bekerja dengan cinta sepenuh hati”)

Meraki adalah salah satu kata yang tidak dapat diterjemahkan, bisa berupa kata sifat, atau kata benda.


Esai :

Di sebuah kota kecil, di pinggir laut utara Jawa, terdapat sebuah bengkel kecil yang memproduksi mebel dari kayu. Aroma uap garam dari ombak laut tercium, bercampur dengan bau potongan kayu. Bengkel kayu ini di miliki seorang perempuan muda, Cempaka namanya.

Tidak seperti toko mebel lain, bengkelnya jauh dari definisi toko. Tidak lebih dari 3 mebel, dan beberapa barang dari kayu yang di pamerkan. Tidak ada nama toko, tidak ada petunjuk apapun, hanya sebuah ruang kecil, bercat putih bersih, dengan satu jendela kaca dan pintu kayu coklat tua, serta bunyi pahatan kayu yang memenuhi hening ruangan kecil itu.

Cempaka, lulusan jurusan disain produk dari perguruan tinggi, sudah terampil membuat barang-barang dari kayu sejak kecil, sering dibawa ke tempat pemotongan kayu milik Ayahnya.

Tokonya hanya menghasilkan satu dua barang saja, tidak banyak, hanya berdasar pesanan. Cempaka tidak pernah terburu-buru dalam membuat mebel dari kayu. Ia selalu menyentuh kayu-kayu mentah, jarinya sudah terlatih merasakan tekstur kayu, semua indera-nya mampu untuk mencium aroma, melihat dan merasakan apapun tentang kayu.

Ia selalu mendengarkan seksama keinginan orang-orang yang memesan mebel, memperhatikan olah gerak mereka, membalas senyum, merasakan cerita-cerita dan mimpi-mimpi mereka dari matanya.

Untuk Cempaka, kayu bukan sekedar benda mati, karya-karyanya menghidupkan kayu, potongan dan pahatan adalah curahan pikiran dan jiwanya.

Suatu hari, seorang laki-laki datang membawa beberapa potongan kayu, cukup banyak.

“Ini milik almarhum Ayah, ia ingin membuat gitar buatku dari kayu-kayu ini, tapi belum kesampaian”, ujar laki-laki itu.

Cempaka menerima potongan kayu-kayu itu, berusaha memahami keinginan pelanggannya. Ia tidak sekedar memahami keinginan, tapi berusaha memahami cinta seorang ayah kepada anaknya.

Jari-jarinya meraba permukaan, matanya mempelajari serat-serat yang tergambar, lalu di dekatkan hidungnya, dihirupnya aroma kayu. Sekali lagi di jarinya berusaha merasakan tekstur kulit kayu, ia memandangi kayu-kayu itu, seperti sedang berbicara kepada mereka.

“Swietenia”, ucapnya lirih.