(n.) Imajinasi yang sangat detail dan jelas
Pengucapan : | pa – ra – kasm |
Etimologi :
Yunani : para (“beside”, “di dalam”), kosmos (“universe”,”dunia”)
Konsep paracosm dijelaskan oleh peneliti Robert Silvery.
Kata paracosm sendiri dibuat oleh Ben Vincent, salah seorang asisten dari Robert.
Paracosm banyak ditemukan pada pada anak-anak yang mampu menjelaskan secara detil imajinasinya. Beberapa orang mengatakan bahwa paracosm merupakan tanda kecerdasan yang tinggi pada anak-anak.
Esai :
Kaila membasuh muka dan mencuci kakinya. Ia akan segera masuk ke kamarnya untuk tidur. Tak lupa ia mematikan telepon genggam, menutup laptop, lalu meletakannya di atas meja belajarnya.
Wajahnya cerah, senyum menghiasi wajah polos kekanakan yang bersih, tidak seperti anak-anak kebanyakan, yang malas bila waktu bermain, harus berhenti untuk tidur, Kaila justru malah menunggu waktu-waktu untuk tidur.
Ibunya menaikan selimut, lalu kecupan selamat malam dari ibunya, mengantar Kaila ke atas tempat tidurnya.
“Selamat bermimpi sayang”, Ibunya mematikan lampu lalu menutup pintu kamar.
Segera setelah lampu di kamarnya mati, gadis itu membuka mata, dan beranjak dari tempat tidur yang hanya berupa susunan jerami. Ia berada di sebuah pondok kayu di tengah hutan. Api di perapian masih menyala, sebuah kendi berisi air sedang di jerang di atasnya.
Sambil meminum minuman hangat yang dibuatnya, ia memeriksa busur dan anak panahnya. Tali busur yang sedikit kendor, diperbaiknya. Tangannya memegang busur itu, seolah hendak memanah sesuatu, sementara tangan yang lain, meregangkan tali busur hingga berada di sudut kelopak matanya.
“Awas kau, kali ini tidak akan lepas”, gumannya. Matanya masih memicing seperti hendak memburu sesuatu.
Ia mengambil jubah yang terbuat dari kulit hewan di atas kursi, dipakainya, lalu dikencangkannya ikatan di pinggangnya. Tas kantong anak panah yang sudah penuh dan busurnya, di letakan di punggungnya. Sebuah tali dari akar rotan, dilingkarkan di pundaknya.
Berjalan keluar pondok kayunya, gadis itu berhenti sesaat di depan pintu. Matanya menutup, ia mengirup nafas dalam beberapa kali. Syaraf-syaraf di sepanjang punggungnya menghangat. Ia mengalirkan semua tenaga ke semua inderanya.
Matanya perlahan berubah menjadi lebih tajam, telinganya lebih peka, intuisinya meningkat drastis, otot-otot tangan dan kakinya lebih kuat. Penciumannya mampu mengikuti aroma yang terbawa angin. Sengaja, ia memilih melawan arah angin.
Tak lama, ia sudah melesat ke atas pohon, lalu melompat ke pohon lain. Gerakannya ringan, tapi mantab, senyap seperti burung hantu yang sedang berburu. Ia tidak ingin membangunkan burung-burung yang bersarang di atas pohon. Bahkan lompatannya, sama sekali tidak membuat daun-daun pohon bergerak.
Sebuah pohon besar tinggi, dipilihnya untuk tempat berhenti. Ia berjongkok pada dahan yang kuat. Matanya yang sangat peka, mengamati sebuah danau di tengah hutan. Di hutan rapat ini, malam menjadi sangat kelam, hanya hewan malam saja yang mampu untuk melihat dan berjalan.
Seperti hewan pemburu, Kila dengan sabar menunggu mangsanya. Ia sama sekali tidak bergerak. Ia tidak ingin buruannya mengetahui posisinya, bahkan nafasnya pun tidak terdengar.
Telinganya menangkap suara di sekitar danau itu walaupun matanya tidak menemukan sesuatu, tapi intuisi pemburunya mulai aktif. Di ambilnya tiga anak panah dari kantong punggungnya dengan perlahan, lalu di aturnya di busurnya.
Suara air berkecipak, menandakan ada hewan yang sedang minum. Dari suara airnya saja, Kila bisa mengira ukuran hewan yang sedang minum.
“Tiga banteng hutan dewasa, satu paling besar di kiri”, ia berguman pada dirinya sendiri. Tangannya mulai membentangkan busur. Ketiga anak panah, dipasang dan direntangkan sekaligus.
Tangan kirinya terjulur memegang busur, sementara tangan kanannya menarik tali busur, hingga menempel dengan bagian matanya.
Kila melesat ke udara tanpa suara sama sekali. Otot-ototnya yang kuat membuatnya sanggup meluncur di udara, tanpa perlu berdiri yang akan membuat pohon besar ini bergerak.
Dengan kecepatan yang mengagumkan, Kila memilin tali busur beberapa kali, dan melepaskan tiga anak panahnya, yang meluncur bersamaan namun dengan arah berbeda.
Satu anak panah meluncur lurus ke sasaran, sedangkan dua lainnya membentuk gerakan memutar di sekitar panah yang lurus gerakannya, tapi tetap menuju ke titik yang sama.
Satu panah akan menimbulkan gelombang udara, sementara dua lainnya akan meniadakan gelombang udara itu.
Kila mendarat ringan di tanah basah di pinggir danau. Seekor banteng besar, terduduk diam di situ. Satu panah menancap di punggung, dan dua panah lain tergeletak di tanah.
“Maaf, aku memerlukanmu”, tangannya mengelus kepala banteng hutan itu, menenangkannya sesaat, dan memasangkan tali di kepala buruannya. Kemudian dengan cepat di cabutnya anak panah yang menancap di punggung, dan segera menekan keras beberapa titik di sekitar lukanya.
Banteng itu, sama sekali tidak terlihat kesakitan, justru malah terlihat sangat tenang.
Gadis pemburu itu, menuntun banteng yang baru saja di ikatnya, keduanya terlihat berjalan tenang masuk ke arah pepohonan lebat.
Garis cahaya merah, mulai terlihat di langit, tanda malam yang gelap akan segera berakhir. Kila tersenyum, hewan buruannya sudah di tangannya, dan ia harus segera kembali ke pondok kayunya.
Sebentar lagi, ibunya akan segera masuk kamarnya, lalu menyapa dengan kecupan lembut. Yang merupakan tanda bahwa Kila pemburu malam, akan kembali menjadi Kaila, seorang anak kecil polos kesayangan ibunya.