Seishinryoku

(n.) Keteguhan, keuletan dalam menghadapi kesulitan

| say-shin-ryo-ku |

Etimologi :

Istilah “seishinryoku” dalam bahasa Jepang, berarti kekuatan mental, keteguhan, keuiletan.

Terdiri dari dua huruf kanji “seishin” (精神), artinya “pikiran” atau “jiwa” dan “ryoku” (力), berarti kekuatan. 

Seishinryoku, secara literal diterjemahkan sebagai “kekuatan pikiran atau jiwa”, yang secara umum berarti kekuatan mental untuk menghadapi sebuah masalah.


 Esai :

“Saya memang bodoh mas, tapi saya tidak mau anak saya ikut”, begitu yang diucapkan oleh Sukitman, dari atas becaknya. Laki-laki berumur 50 tahun itu, saya temui di sebuah acara wisuda kampus negeri ternama di Surabaya.

Siang itu, ia mengantar anak bungsu perempuannya untuk wisuda, menjadi sarjana jurusan Ekonomi.

“Saya sudah tiga kali ini, tahun lalu, kakaknya lulus S2, dari sini juga”, ujarnya bangga.

Pak Sukitman, sehari-hari menarik becak di kawasan mulyosari, rumahnya juga tidak jauh dari lokasi kampus tempat kedua anaknya berkuliah.

Ia membesarkan kedua anaknya seorang diri, karena istrinya sudah dipanggil kembali oleh pencipta, ketika anak bungsunya lulus SMP.

Pendapatnya tentang pendidikan sangat menarik, walaupun tidak pernah menikmati bangku sekolah, tapi pak Sukitman, punya visi yang jelas tentang pendidikan anak-anaknya.

“Saya sudah terbiasa hidup susah sejak lahir, dan itu tidak enak, saya tidak mau anak saya sama seperti saya, mereka harus hidup lebih baik. Satu-satunya cara adalah sekolah yang tinggi. Tidak masalah saya miskin, yang penting anak saya sekolahnya tinggi.”

Dengan kemeja batik lengan panjang yang sudah terlihat lusuh, dan sandal kulit usang, Pak Sukitman mengantarkan anaknya, yang juga merupakan salah satu wisudawan terbaik dengan mengayuh becaknya. Satu-satunya alat transportasi yang dipunyai.

Putrinya terlihat cantik dengan riasan sederhana, senyum tulus di wajahnya, sama sekali tidak menunjukan kecanggungan ketika di antar menggunakan becak oleh ayahnya.

Sedang teman-temannya yang lain, mungkin diantarkan keluarganya dengan mobil, Pak Sukitman dan putrinya cukup menggunakan becak. Becak yang menghidupi keluarga, dan mengantarkan anak-anaknya menjadi sarjana.

“Buat apa malu mas, saya malah bangga sama bapak”, kata Dwi, putri Pak Sukitman. Sayapun sama sekali tidak melihat rasa minder pada Dwi. Mungkin predikat cumlaude dengan IPK 4.00 salah satu penyebabnya.

“Ya kalau dibilang sulit, ya sulit mas, tapi masa ada pekerjaan yang gampang?”, Pak Sukitman menceritakan duka pekerjaannya.

Menjamurnya transportasi online yang murah, merupakan salah satu saingan para penarik becak. Kini di Surabaya, becak menjadi terpinggirkan oleh ojek online. Tarif yang murah, kecepatan dan kepraktisan, merupakan kelebihan dari transportas ojek online.

Penumpang lebih memilih bentuk transportasi baru, yang menawarkan banyak kenyamanan. Tapi pak Sukitman dan ratusan penarik becak di kota Surabaya, tetap bertahan dengan profesinya, karena memang tidak ada pilihan.

“Saya sudah tua mas, buta huruf, gak paham online-onlinean dan lagi saya nggak mampu beli sepeda motor”, ucapnya sambil tertawa. Tidak ada kekecewaan sama sekali terbersit di raut keras wajahnya.

Orang-orang seperti Pak Sukitman, menganggap cobaan hidup sebagai bahan candaan. Mereka mampu bersahabat dan menertawakan masalah hidup, tidak sekedar menjalani, tapi juga membuatnya sebagai lelucon belaka.

“Yang paling berat waktu covid, tapi ya masih bisa lah, untungnya masih diberi kesehatan”, sambungnya, mengenang peristiwa pandemi yang membuat perekonomian berhenti dua tahun lalu.

Pak Sukitman bertahan dengan cara mangkal di depan kampungnya, mengantarkan satu atau dua orang pelanggan saja.

“Nekat mas, kalau gak gitu, mau makan apa anak-anak saya”.

Biasanya ia membawa pulang uang antara 50ribu sampai 100ribu perhari, lalu sebagian di tabung, sebagian lagi untuk makan sehari-hari ia dan kedua anaknya. Keadaan perekonomiannya semakin membaik, ketika anak pertamanya lulus sarjana dan diterima sebagai asisten dosen di perguruan tinggi yang sama.

“Jadi ringan beban saya”, ucapnya dengan senyum lebar.

“Mungkin saya tetap narik becak mas, cuma ini yang saya bisa”, kata pak Sukitman, menutup pembicaraan ketika saya bertanya rencana setelah anak bungsunya lulus sarjana.