Veracious

(adj.) Selalu berbicara jujur

| /vəˈrāSHəs/ | ve ra shes |

Etimologi :

Latin abad ke 17, verax, verac, (verus, benar) + ious

Sering kali tertukar makna dengan voracious, yang berarti sifat keserakahan.


Esai :

Paseban agung ini buatku terasa sunyi, tapi gaduh suara prajurit diluar, tetap menulikan telingaku. Dari sudut mataku, terlihat mereka sudah tidak lagi teratur, semua serba kacau. Mereka baru saja pulang dari padang rumput Kuru, yang terdengar indah namanya, tapi aku menyebutnya Kuru Setra, atau kuburan Kuru, dimana saudara-saudaraku, sepupuku, keponakanku, pamanku, terkubur.

Aku duduk, menunduk, tanpa berani menatap wajah Jlitheng kakangku, begitu adikku Seno memanggilnya. Aku sendiri mengenalnya sebagai Narayana, konon katanya kulitnya yang hitam itu karena di aliri darah Wisnu.

Entah kenapa titisan dewa itu membiarkan perang saudara ini terjadi. Katanya ia mendengar langsung ketika para dewata sedang menulis rencana perang, dan katanya ia sudah menghapus nama-nama yang tidak diinginkannya mati dari buku itu. Atas nama memenuhi takdir, begitu ia selalu bilang.

Dulupun aku menurutinya, aku relakan istriku tercinta, Salindri, untuk direndahkan harga diri dan martabatnya, diuraikan gelungan rambutnya, hanya untuk memicu amarah, Seno. Katanya, Bimasena akan menjadi penentu perang besar keluarga Barata nanti.

Sejak saat itu aku belum lagi pernah melihat istriku, menggelung rambutnya. Ia memintakan Seno, untuk membawakan darah Duryudana, kakakku sendiri, untuk menjamas rambutnya.

Suaranya halus menusuk, ketika ia memanggil nama lainku, Gunatalikrama, nama yang di sandangkan oleh para guru-guru sastraku. Tanpa sadar, aku mengadu mata dengannya, lalu kembali aku menunduk.

Sudah beberapa kali aku menolak perintahnya untuk berdusta. Berdusta kepada lawan, katanya adalah hal baik, menurutku dusta adalah dusta, titik.

Perintahnya untuk berperangpun aku tidak menolak, walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak ingin. Lawan-lawanku di medan perang memberikan aku nama Ajatasatru, karena sifatku yang selalu menghindari musuh.

Ketika aku dikirim berperang menghadapi pamanku, Prabu Salyawati, kakak dari ibu Madrim, ibu adik kembarku, Pinten Tangsen. Pilihanku waktu itu hanya satu, menyerahkan nyawaku, untuk segera mengakhiri perang. Tapi ternyata, Paman Prabu, sudah menungguku untuk menyerahkan nyawanya, katanya untuk memenuhi takdirnya, tewas di tangan Dharmaputera, sebutanku yang lain lagi.

Tapi perintahnya satu ini, benar-benar tidak bisa aku laksanakan. Seumur hidupku aku tidak pernah berdusta. Bahkan para Dewa menyerah untuk membuatku berdusta, sampai-sampai mereka menyumpah, kakiku tidak akan pernah menginjak tanah sampai dengan aku berdusta.

Aku tidak menolak apapun perintah Narayana, asal bukan berdusta itu saja.

Semua yang hadir disitu, sebut saja Kakang Kokosrono, Paman Setyaki, Paman Widura, keponakan-keponakanku, Tetuko, Abimanyu, Wisanggeni, dan adik-adiku sendiri, Seno, Janoko, Pinten dan Tangsen, gemas melihat kerasnya pendirianku.

Ayah dan anak, Guru Kumbayana dan Aswatama terlalu mandraguna bagi kami semua. Mereka bertempur tanpa lawan di sisi Utara dan Selatan. Narayana hendak menjatuhkan Guru Kumbayana, karena ia sendiri tak mampu melawan Aswatama, yang terkena sumpah para Dewata, menanggung hidup abadi.

Hanya Lindhusegara, putra bungsu Seno, yang memahami pendirianku, karena ia pun sama denganku, pantang untuk berdusta. Ia mendekatiku, bersimpuh di depanku, memohon ampun, lalu kami berbicara sebentar, dan aku mengangguk ragu.

Tidak salah, Narayana memang memiliki kebijakan Wisnu, tapi kadang aku melihatnya sebagai kelicikan dan keegoisan. Aku setuju usulan Lindhusegara, yang aku yakin itu semata skenario yang di susun Jlitheng.

Saat itu, hari menjelang swastamita, warna emas semburat di langit. Dari panggung, aku melihat Seno membunuh tunggangan Kakang Gardapati, sepupuku kurawa. Perut tebal gajah tempur bernama Aswatama itu, robek oleh Pancanaka, dan kepalanya remuk terkena Rujakpolo. Binatang yang tidak bersalah itu sama sekali bukan tandingan Bimasena. Gajah Aswatama memenuhi takdirnya yang digariskan sejak ia lahir dan diberi nama Aswatama, pemiliknya menginginkan gajah yang secepat kuda.

Seno berdiri, suaranya lantang meneriakan berita kematian Aswatama. Aku melihat Guru Kumbayana berlari menuju ke arah panggung tempat aku berdiri, mengamuk, membantai apapun di sekitarnya.

Guruku sudah berdiri di depanku, aku bersimpuh hormat. Ia menanyakan kepadaku, berita yang baru saja terdengar. Aku hanya mengangguk, dan sekali lagi aku mengangguk ketika Guruku Kumbayana bertanya kedua kali.

Kali ini aku menurut kelicikan Narayana, aku berkata kepada Guruku, benar Gajah Aswatama mati. Kakang Jlitheng sepertinya sengaja memerintahkan meniup sangkala dan menabuh genderang. Entah apa yang di dengar Guru Kumbayana.

Guru Kumbayana terduduk di depanku, di lantai kayu panggung, kesaktiannya dan keganasannya tiba-tiba hilang lunglai. Adik iparku, Drestajumena seketika maju dan memenggal kepala Guru Kumbayana, tanpa aku sempat mencegah. Mata Guru Kumbayana masih sempat menatapku, mungkin menuduhku berdusta. Janoko menjerit, bagaimanapun, ia adalah murid kesayangan Guru Kumbayana.

Oh, Guruku, ampuni muridmu ini.


Esai oleh by wiwit https://www.kirakara.com/veracious/

Para Potterhead tentu tidak asing dengan istilah “veritaserum”. Mungkin kata ini diadaptasi JK Rowling dari kata veracious, sebuah kata dari bahasa latin yang berarti kebenaran. Setelah mendapat tantangan menulis hari ini tentang veracious: selalu berkata jujur, otomatis anganku melompat ke veritserum, ramuan kejujuran dalam serial Harry Potter.


Lalu aku bertanya dalam hati, adakah veritaserum untuk diri sendiri? Ramuan yang bisa membuat kita jujur pada diri sendiri. Karena terkadang jujur pada diri sendiri itu jauh lebih susah. Bukan sekedar mengakui kekurangan dan kelebihan, tetapi juga mau mengakui kesalahan, kelemahan, menerima kondisi terburuk diri sendiri apa adanya.


Seorang teman pernah berkata, menjadi manusia sok kuat adalah manusia yang tidak pernah jujur pada dirinya sendiri. Terlalu arogan untuk mau meminta tolong dan mengakui kelemahan. Bahkan bisa jadi ia menyamakan dirinya dengan Tuhan yang tidak membutuhkan bantuan orang lain. Sungguh tamparan telak buatku.


Meskipun sisi otakku yang lain berkata, aku menulis dan tulisan buatku adalah caraku mengurai diri sendiri, lengkap dengan proses menemukan kejujuran dalam diriku. Namun setiap kali aku mencoba bertanya pada diriku sendiri, aku seperti berada di depan cermin 1000. Pernahkah kamu berdiri di depan banyak cermin yang berjajar? di mana kamu melihat bayanganmu saling memantul hingga membuat mata sakit dan makin lama makin tampak kabur.


Seperti itulah yang aku rasakan. Hingga aku susah membedakan apakah ini kejujuran atau bagian dari imajinasi yang ingin aku wujudkan dalam diriku? Entahlah. Sepertinya otakku terlalu kerdil untuk mengurai hal yang terlalu rumit. Pantas saja aku tak piawai bermain catur atau permainan strategi lainnya. Sekedar mengurai kejujuran pada diri sendiri saja aku kesulitan.


Mungkin memang Tuhan memberikan setting otak dan tubuhku hanya mampu bergerak 1-2 langkah ke depan. Gak perlu memikirkan atau melakukan hal yang rumit. Berjalan saja. Melangkah saja. Kejujuran tak perlu dipikirkan. Rasakan saja dan resapi satu per satu. Maka ketulusan akan muncul di tengah-tengahnya. Apakah benar seperti itu? Entahlah


So, how do you define honesty?